Senin, 04 Maret 2013

Ketika Hubungan “Intim” Tidak Lagi Menggairahkan

Ketika Hubungan “Intim” Tidak Lagi Menggairahkan

HIDUPKATOLIK.com - Hidup perkawinan ibarat sebuah roller coaster, kadang di atas kadang di bawah. Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti ibarat sebuah roda yang berputar. Saat kebahagiaan datang, yang ada hanya rasa senang dan gembira. Namun sebaliknya, saat kesedihan hadir, segala persoalan timbul tanpa ada halangan. Dalam situasi sulit, bukan tidak mungkin semua yang menjadi persoalan muncul. Dari persoalan remeh temeh hingga persoalan kompleks. Segala timbunan persoalan tumpah ruah bak air bah yang menerjang tanpa ada halangan. Inilah yang kemudian merembes ke berbagai persoalan hingga di tempat tidur.

Tempat tidur pada dasarnya sebuah area relasi intim antara suami-istri. Persoalan bisa muncul dari tempat ini, namun juga bisa diselesaikan di tempat ini pula. Kedekatan suami-istri bisa diawali dari ruang ini, namun juga bisa diakhiri di tempat ini pula. Betapa penting dan berartinya tempat ini hingga banyak pasangan menjadikannya sebagai indikator kehangatan dan keharmonisan keluarga dan relasi suami-istri. Kedekatan antarpasangan menjadi titik kunci berlangsungnya relasi suami-istri. Bahkan, dalam konteks yang lebih mendasar adalah keberlangsungan sebuah keluarga juga bisa diprediksi dari sejauh mana kehangatan dan keintiman masih bisa dirasakan di tempat tidur.

Hubungan intim dalam pengertian ini lebih pada hubungan antara pasangan suami-istri dalam relasi yang lebih intim, relasi antara laki-laki dan perempuan, relasi yang lebih hakiki sebagai sebuah bentuk kedekatan yang lebih erat. Seks dalam relasi antara suami-istri tidak bisa dimaknai hanya sekadar sebuah bentuk kewajiban dan rutinitas, namun perlu dimaknai dalam substansi yang lebih hakiki sebagai sebuah perwujudan cinta antara laki-laki dan perempuan yang terikat oleh rasa cinta dan kasih sayang.

Seks adalah sebuah pemaknaan akan sebuah hubungan yang lebih mendasar, yang tidak hanya sekadar hubungan perkelaminan. Seks dalam konteks companionate love (Cicarelli dan Meyer, 2006) pada dasarnya melibatkan komitmen yang mendasari adanya keintiman dan juga hasrat. Komitmen ini mengandung pengertian adanya keinginan untuk mencari kedekatan emosi yang lebih intim, kebutuhan memahami, serta kehendak untuk melanggengkan relasi yang tidak hanya sekadar hubungan seksual semata-mata.

Kepuasan yang muncul tidak hanya sekadar bahwa tatkala hasrat seksual muncul kemudian dituangkan dalam bentuk hubungan seksual, seperti berpegangan tangan, memeluk, dan yang lebih intens adalah sexual intercourse. Namun, di atas segalanya adalah kebutuhan untuk saling memperhatikan, memahami, dan saling menerima.

Dalam banyak kasus, ritme hubungan intim ini juga naik turun. Kadang hangat namun tak jarang mendingin tanpa sebab atau memang disadari. Mendinginnya hubungan ini, seringkali menjadi semacam indikasi adanya persoalan yang muncul. Relasi yang hanya didasari oleh sebuah rutinitas dan kewajiban yang dijalankan namun tidak dimaknai, pada akhirnya hanya akan jatuh pada sebuah hubungan mekanis yang membuat pasangan menjadi merasa memiliki sebuah tugas yang harus dijalani atas nama hubungan suami-istri, atas nama kelanggengan keluarga. Relasi ini tinggal menunggu waktu yang pada akhirnya akan mendingin.

Ada beberapa hal mengapa hubungan intim sejalan dengan berjalannya waktu akan mendingin atau justru menjadi sebuah hubungan mekanis semata.

  • Saat hubungan ini hanya dianggap sebagai sebuah kewajiban yang ‘wajib’ dilakukan atas nama hubungan suami-istri. Saat itu, sebenarnya kita sudah menjebak diri kita sendiri sebagai sebuah mesin yang hanya ‘on’ di saat kita kehendaki.
  • Beban hidup dan beban persoalan yang mengakibatkan stres atau bahkan depresi. Kondisi stres akan membuat orang menjadi kurang ‘berselera’. Stres mengakibatkan seseorang kadang sulit untuk melakukan kegiatan yang bersifat menyenangkan.
  • Sakit fisik yang membuat seseorang menjadi kurang bergairah dan kurang bertenaga untuk melakukan hubungan intim.
  • Kejenuhan dalam relasi antara suami-istri. Hal ini bisa saja disebabkan oleh kurangnya waktu berkualitas untuk menjalin relasi dan komunikasi antarpasangan, jarak dan waktu yang menyebabkan keduanya terpisah. Persoalan yang muncul di antara kedua pasangan yang tidak kunjung bisa diselesaikan dan menjadi bom yang siap diledakkan.
  • Hidup perkawinan yang dirasa monoton, membosankan. Ketidakpuasan dalam hubungan seks sehingga hubungan ini sulit dinikmati di antara keduanya atau hanya salah satu.
Beberapa penyebab di atas, bisa saja salah satu atau beberapa di antaranya menjadi penyebab ‘mendinginnya’ relasi antara suami-istri, sehingga berimbas pada kurang hangatnya hubungan intim yang terjalin. Lantas, bagaimana hal ini diantisipasi atau diselesaikan? Tips-tips berikut ini semoga bisa dicoba dan bermanfaat:
  • Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah memahami bahwa hidup perkawinan tidak selalu ditandai dengan nafsu yang menggebu-gebu. Beberapa pengalaman bahkan menunjukkan bahwa relasi suami-istri yang telah berjalan begitu lama menciptakan hubungan yang lebih bersifat pertemanan dengan dasar komitmen dan pemahaman yang kuat antara satu dengan yang lain. Situasi ini membuat hubungan intim menjadi bentuk relasi yang bersifat meneguhkan yang didasari oleh rasa saling mengerti dan menerima.
  • Jika memang ada problem yang muncul di antara pasangan, memang perlu diurai dan diselesaikan secara bersama-sama karena persoalan ini bisa menjadi ganjalan yang bisa menghambat kedekatan dan keintiman bersama. Dalam realitas, justru yang terjadi adalah persoalan hanya dirasakan di satu pihak, sehingga menimbulkan perasaan tidak berharga, disepelekan, dan tidak berarti bagi pihak lain. Bahkan, demi menjaga keutuhan rumah tangga agar tidak menimbulkan konflik, yang dilakukan kemudian adalah memendam persoalan dan berharap dengan berjalannya waktu akan selesai begitu saja. Namun seberapapun kecil persoalan, jika tidak segera diselesaikan pada waktunya akan menumpuk dan bisa muncul bagai bom atom dan menjadi kerikil yang mengganjal. Cobalah untuk menyelesaikan dan jika perlu mohon bantuan orang lain.
  • Kualitas komunikasi yang kurang juga bisa menjadi faktor penyebab hambarnya hubungan ini. Tuntutan pekerjaan atau jarak antara pasangan yang berjauhan bisa menjadi penyebab berkurangnya waktu untuk bertemu, dan ini membuat kedekatan juga bisa berkurang. Karena terbatasnya waktu bertemu, maka saat bertemu pun hanya membicarakan hal-hal yang sebisa mungkin mengurangi kemungkinan konflik. Atau bisa jadi justru yang sebaliknya terjadi. Pada saat bertemu menjadi ajang konflik karena sudah bertumpuknya persoalan selama sekian waktu lamanya. Dalam situasi sekarang, kemudahan jalur komunikasi memang perlu diupayakan dan dimaksimalkan. Kehangatan diupayakan dengan berbagai cara melalui berbagai jalur komunikasi yang mungkin.
  • Kejenuhan dalam hubungan intim perlu dibicarakan. Sesekali refreshing bersama, mendiskusikan variasi-variasi yang dikehendaki, membangkitkan rasa ingin tahu bersama, dan melakukan berbagai eksplorasi yang dimungkinkan bisa jadi akan memberikan suasana berbeda.
  • Pada akhirnya, hubungan intim adalah bentuk hubungan yang didasari oleh kebutuhan untuk ‘saling’ membahagiakan dan menyenangkan pasangan, bentuk hubungan untuk menjaga komitmen dan kelanggengan, dan ini akan terus menjadi pekerjaan rumah yang bisa dieksplorasi bersama dengan tentu saja keterbukaan pada masing-masing pihak.

Th. Dewi Setyorini - 

http://www.hidupkatolik.com/2013/02/20/ketika-hubungan-intim-tidak-lagi-menggairahkan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar