Rabu, 13 Maret 2013

Jauhi 8 Sifat Istri yang Dibenci Suami


KUNCI utama rumah tangga bahagia adalah adanya saling cinta dan kasih sayang antara suami dan istri.  Sang suami akan menghargai dan memberikan segenap cinta dan kasih sayang kepada istrinya, jika kaum wanita pun memberikan cinta dan penghargaan kepada suaminya. Demikian pula sebaliknya.
Agar istri tidak kehilangan rasa cinta dan rasa hormat suaminya, maka seorang istri harus mengetahui dan menjauhi sifat-sifat wanita yang dibenci suami. 
Di antara sifat-sifat tersebut yang paling menonjol, sebagaimana ditulis Shabah Sa’id dalam bukunya Az-Zaujah Al-Mubdi’ah wa Asrar Al-Jamal, antara lain:

1.  Istri yang sibuk dengan dirinya sendiri.
Istri seperti ini biasanya menjauhi segala urusan suami, dan lebih mementingkan urusan serta kegemarannya sendiri. Pada dasarnya, istri seperti ini merasa nyaman setiap kali dia bisa menyendiri, serta bisa menjaga segala apa yang dia dengar, dia lihat, dan dia sentuh untuk diri sendiri. Boleh jadi hal ini merupakan akibat adanya penyakit psikis yang membutuhkan penanganan lebih lanjut.
…Istri seperti ini adalah istri yang mengabaikan eksistensi suaminya. Karena dia selalu tidak meminta saran suaminya, atau tidak melibatkannya dalam urusan keluarga…

2.  Istri yang suka mendominasi.
Istri seperti ini adalah istri yang mengabaikan eksistensi suaminya. Karena dia selalu tidak meminta saran suaminya, atau tidak melibatkannya dalam urusan keluarga. Dia senantiasa menjalankan sendiri segala urusan keluarga dan urusan rumah dengan tanpa memandang pendapat suami.
Di sini, seorang suami akan merasa bahwa jati dirinya telah hilang, sebab yang bisa dia lakukan untuk kebaikan rumah atau anak-anaknya hanya menyerah saja, atau mengabaikan keberadaan dirinya. Pria semacam ini, jika tidak memisahkan dirinya dari istri seperti itu, bisa jadi dia akan berusaha mencari, atau mendapatkan apa yang dia inginkan selama ini dari wanita lain.

3.  Istri yang gemar berdusta.
Salah satu hal yang mesti dimiliki dalam hubungan pernikahan adalah unsur kejujuran dalam segala hal. Ini mengingat, kejujuran merupakan salah satu pilar ketenteraman dan kebahagiaan. Di luar sana terdapat banyak wanita yang gemar berdusta. Mereka menjadikan dusta sebagai hobi atau sebagai dalih karena takut sesuatu. Namun apa pun alasannya, dusta dan tipu daya adalah dua hal yang paling dibenci kaum pria. Meskipun terkadang seorang pria menerima tindakan dusta dari istrinya karena satu atau lain hal, namun penerimaan seorang suami terhadap sifat buruk itu biasanya disertai dengan pandangan  meremehkan.

4.  Istri yang kejam/galak.
Istri semacam ini adalah istri yang begitu mudahnya memberikan hukuman kepada suaminya, ketika suaminya melakukan suatu hal tertentu. Istri seperti ini terus-menerus meresahkan suaminya, sebab karakter permusuhannya tersebut. Selain itu, istri seperti ini akan terbiasa mengeluarkan kata-kata pedas, keras, dan kasar kepada tetangga, teman-teman, dan anggota keluarganya. Istri yang kejam, tentunya menimbulkan banyak masalah bagi suaminya, bahkan bagi anak-anaknya pula. Sehingga tertanam dalam jiwa anak-anaknya sikap tidak senang dan akan menjauh dari ibunya.
…Istri galak, begitu mudahnya memberikan hukuman kepada suaminya, ketika suaminya melakukan suatu hal tertentu. Istri seperti ini selalu meresahkan suaminya…

5.  Istri yang menyulitkan.
Wanita semacam ini terbiasa hidup dalam suasana kehidupan yang penuh dengan perilaku buruk, gejolak rumah tangga, senantiasa menciptakan benih-benih perselisihan. Sebab setiap kata yang terlontar dari mulut suaminya yang berisi perintah terhadap hal penting yang mesti dilakukan istrinya, ternyata istrinya malah menepis semua perkataan suaminya dan menolak bertanggungjawab atas hal itu. Sehingga seringkali dia menciptakan kesulitan dan menyulut pertikaian antara dirinya dengan suaminya. Dalam kondisi demikian, sang suami lebih mengutamakan untuk menjauh dari rumah, atau barangkali dia akan tetap di rumah dan ikut-ikutan dengan sifat buruk istrinya.

6.  Istri yang pasif.
Istri semacam ini akan membiarkan dan menyerahkan segala urusan kepada suaminya, sehingga suaminya menjalankan seluruh urusan keluarga dan rumah tangga. Peran istri hanya terbatas menjalankan instruksi-instruksi suaminya. Dia senantiasa menyerah dalam segala hal, seakan-akan dia menuntut suaminya agar lebih berkuasa dengan tanpa berusaha menunjukkan perannya atau keberadaannya sedikit pun terhadap suaminya, padalah dia adalah pasangan hidup bagi suaminya.

7.  Istri yang keras kepala.
Istri semacam ini adalah istri yang keras kepala dalam segala hal, dan dia terus berlindung di balik sifatnya yang keras kepala itu. Sebab dia mendapatkan kenyamanan pada dirinya ketika dia bersikeras mengikuti pendapatnya, sekalipun itu salah. Di samping itu, melalui cara itulah dia mendapatkan kepuasan diri. Misalnya, andai suaminya menginginkan satu jenis makanan, dia terus-menerus menyiapkan jenis makanan lainnya, sekalipun sebenarnya jenis makanan itu juga tidak disukainya. Wanita semacam ini adalah wanita yang paling dibenci kaum laki-laki.
…Istri yang keras kepala dalam segala hal adalah wanita yang paling dibenci kaum laki-laki…

8.  Istri yang menggemari rutinitas.
Istri semacam ini adalah sosok yang menganggap bahwa pernikahan adalah akhir dari segala kehidupannya. Sebab segala ambisi dan keinginannya telah dipendam dalam-dalam pasca menikah. Menurutnya, setelah menikah tidak ada lagi keinginan dan ambisi. Dengan begitu, dia beranggapan bahwa hari ini sama dengan hari kemarin, dengan artian, bahwa segala sesuatu dalam kehidupan pernikahan hanya sarat dengan rutinitas yang teratur dan monoton.
Hal-hal di atas adalah bagian dari sifat-sifat istri yang paling dibenci kaum suami. Oleh karena itu, hendaknya para istri kembali meniti kembali gaya hidupnya dengan menjauhi sifat-sifat di atas, demi meraih kebahagiaan dan ketenteraman kehidupan rumah tangga. [ganna pryadha/voa-islam.com]

Senin, 04 Maret 2013

Ketika Hubungan “Intim” Tidak Lagi Menggairahkan

Ketika Hubungan “Intim” Tidak Lagi Menggairahkan

HIDUPKATOLIK.com - Hidup perkawinan ibarat sebuah roller coaster, kadang di atas kadang di bawah. Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti ibarat sebuah roda yang berputar. Saat kebahagiaan datang, yang ada hanya rasa senang dan gembira. Namun sebaliknya, saat kesedihan hadir, segala persoalan timbul tanpa ada halangan. Dalam situasi sulit, bukan tidak mungkin semua yang menjadi persoalan muncul. Dari persoalan remeh temeh hingga persoalan kompleks. Segala timbunan persoalan tumpah ruah bak air bah yang menerjang tanpa ada halangan. Inilah yang kemudian merembes ke berbagai persoalan hingga di tempat tidur.

Tempat tidur pada dasarnya sebuah area relasi intim antara suami-istri. Persoalan bisa muncul dari tempat ini, namun juga bisa diselesaikan di tempat ini pula. Kedekatan suami-istri bisa diawali dari ruang ini, namun juga bisa diakhiri di tempat ini pula. Betapa penting dan berartinya tempat ini hingga banyak pasangan menjadikannya sebagai indikator kehangatan dan keharmonisan keluarga dan relasi suami-istri. Kedekatan antarpasangan menjadi titik kunci berlangsungnya relasi suami-istri. Bahkan, dalam konteks yang lebih mendasar adalah keberlangsungan sebuah keluarga juga bisa diprediksi dari sejauh mana kehangatan dan keintiman masih bisa dirasakan di tempat tidur.

Hubungan intim dalam pengertian ini lebih pada hubungan antara pasangan suami-istri dalam relasi yang lebih intim, relasi antara laki-laki dan perempuan, relasi yang lebih hakiki sebagai sebuah bentuk kedekatan yang lebih erat. Seks dalam relasi antara suami-istri tidak bisa dimaknai hanya sekadar sebuah bentuk kewajiban dan rutinitas, namun perlu dimaknai dalam substansi yang lebih hakiki sebagai sebuah perwujudan cinta antara laki-laki dan perempuan yang terikat oleh rasa cinta dan kasih sayang.

Seks adalah sebuah pemaknaan akan sebuah hubungan yang lebih mendasar, yang tidak hanya sekadar hubungan perkelaminan. Seks dalam konteks companionate love (Cicarelli dan Meyer, 2006) pada dasarnya melibatkan komitmen yang mendasari adanya keintiman dan juga hasrat. Komitmen ini mengandung pengertian adanya keinginan untuk mencari kedekatan emosi yang lebih intim, kebutuhan memahami, serta kehendak untuk melanggengkan relasi yang tidak hanya sekadar hubungan seksual semata-mata.

Kepuasan yang muncul tidak hanya sekadar bahwa tatkala hasrat seksual muncul kemudian dituangkan dalam bentuk hubungan seksual, seperti berpegangan tangan, memeluk, dan yang lebih intens adalah sexual intercourse. Namun, di atas segalanya adalah kebutuhan untuk saling memperhatikan, memahami, dan saling menerima.

Dalam banyak kasus, ritme hubungan intim ini juga naik turun. Kadang hangat namun tak jarang mendingin tanpa sebab atau memang disadari. Mendinginnya hubungan ini, seringkali menjadi semacam indikasi adanya persoalan yang muncul. Relasi yang hanya didasari oleh sebuah rutinitas dan kewajiban yang dijalankan namun tidak dimaknai, pada akhirnya hanya akan jatuh pada sebuah hubungan mekanis yang membuat pasangan menjadi merasa memiliki sebuah tugas yang harus dijalani atas nama hubungan suami-istri, atas nama kelanggengan keluarga. Relasi ini tinggal menunggu waktu yang pada akhirnya akan mendingin.

Ada beberapa hal mengapa hubungan intim sejalan dengan berjalannya waktu akan mendingin atau justru menjadi sebuah hubungan mekanis semata.

  • Saat hubungan ini hanya dianggap sebagai sebuah kewajiban yang ‘wajib’ dilakukan atas nama hubungan suami-istri. Saat itu, sebenarnya kita sudah menjebak diri kita sendiri sebagai sebuah mesin yang hanya ‘on’ di saat kita kehendaki.
  • Beban hidup dan beban persoalan yang mengakibatkan stres atau bahkan depresi. Kondisi stres akan membuat orang menjadi kurang ‘berselera’. Stres mengakibatkan seseorang kadang sulit untuk melakukan kegiatan yang bersifat menyenangkan.
  • Sakit fisik yang membuat seseorang menjadi kurang bergairah dan kurang bertenaga untuk melakukan hubungan intim.
  • Kejenuhan dalam relasi antara suami-istri. Hal ini bisa saja disebabkan oleh kurangnya waktu berkualitas untuk menjalin relasi dan komunikasi antarpasangan, jarak dan waktu yang menyebabkan keduanya terpisah. Persoalan yang muncul di antara kedua pasangan yang tidak kunjung bisa diselesaikan dan menjadi bom yang siap diledakkan.
  • Hidup perkawinan yang dirasa monoton, membosankan. Ketidakpuasan dalam hubungan seks sehingga hubungan ini sulit dinikmati di antara keduanya atau hanya salah satu.
Beberapa penyebab di atas, bisa saja salah satu atau beberapa di antaranya menjadi penyebab ‘mendinginnya’ relasi antara suami-istri, sehingga berimbas pada kurang hangatnya hubungan intim yang terjalin. Lantas, bagaimana hal ini diantisipasi atau diselesaikan? Tips-tips berikut ini semoga bisa dicoba dan bermanfaat:
  • Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah memahami bahwa hidup perkawinan tidak selalu ditandai dengan nafsu yang menggebu-gebu. Beberapa pengalaman bahkan menunjukkan bahwa relasi suami-istri yang telah berjalan begitu lama menciptakan hubungan yang lebih bersifat pertemanan dengan dasar komitmen dan pemahaman yang kuat antara satu dengan yang lain. Situasi ini membuat hubungan intim menjadi bentuk relasi yang bersifat meneguhkan yang didasari oleh rasa saling mengerti dan menerima.
  • Jika memang ada problem yang muncul di antara pasangan, memang perlu diurai dan diselesaikan secara bersama-sama karena persoalan ini bisa menjadi ganjalan yang bisa menghambat kedekatan dan keintiman bersama. Dalam realitas, justru yang terjadi adalah persoalan hanya dirasakan di satu pihak, sehingga menimbulkan perasaan tidak berharga, disepelekan, dan tidak berarti bagi pihak lain. Bahkan, demi menjaga keutuhan rumah tangga agar tidak menimbulkan konflik, yang dilakukan kemudian adalah memendam persoalan dan berharap dengan berjalannya waktu akan selesai begitu saja. Namun seberapapun kecil persoalan, jika tidak segera diselesaikan pada waktunya akan menumpuk dan bisa muncul bagai bom atom dan menjadi kerikil yang mengganjal. Cobalah untuk menyelesaikan dan jika perlu mohon bantuan orang lain.
  • Kualitas komunikasi yang kurang juga bisa menjadi faktor penyebab hambarnya hubungan ini. Tuntutan pekerjaan atau jarak antara pasangan yang berjauhan bisa menjadi penyebab berkurangnya waktu untuk bertemu, dan ini membuat kedekatan juga bisa berkurang. Karena terbatasnya waktu bertemu, maka saat bertemu pun hanya membicarakan hal-hal yang sebisa mungkin mengurangi kemungkinan konflik. Atau bisa jadi justru yang sebaliknya terjadi. Pada saat bertemu menjadi ajang konflik karena sudah bertumpuknya persoalan selama sekian waktu lamanya. Dalam situasi sekarang, kemudahan jalur komunikasi memang perlu diupayakan dan dimaksimalkan. Kehangatan diupayakan dengan berbagai cara melalui berbagai jalur komunikasi yang mungkin.
  • Kejenuhan dalam hubungan intim perlu dibicarakan. Sesekali refreshing bersama, mendiskusikan variasi-variasi yang dikehendaki, membangkitkan rasa ingin tahu bersama, dan melakukan berbagai eksplorasi yang dimungkinkan bisa jadi akan memberikan suasana berbeda.
  • Pada akhirnya, hubungan intim adalah bentuk hubungan yang didasari oleh kebutuhan untuk ‘saling’ membahagiakan dan menyenangkan pasangan, bentuk hubungan untuk menjaga komitmen dan kelanggengan, dan ini akan terus menjadi pekerjaan rumah yang bisa dieksplorasi bersama dengan tentu saja keterbukaan pada masing-masing pihak.

Th. Dewi Setyorini - 

http://www.hidupkatolik.com/2013/02/20/ketika-hubungan-intim-tidak-lagi-menggairahkan